Sabtu, 26 Februari 2011

Gaya Berpakaian Remaja

Salah satu pakar psikologi perkembangan Elizabeth B. Hurlock (1980) menyatakan bahwa masa remaja ini dimulai pada saat anak mulai matang secara seksual dan berakhir pada saat ia mencapai usia dewasa secara hukum. Masa remaja terbagi menjadi dua yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Masa remaja awal dimulai pada saat anak-anak mulai matang secara seksual yaitu pada usia 13 sampai dengan 17 tahun, sedangkan masa remaja akhir meliputi periode setelahnya sampai dengan 18 tahun.

Erik Erikson mengungkapkan krisis pada masa remaja yakni identity vs identity diffusion. Pada masa remaja, individu berupaya mengeksplorasi diri dan lingkungannya untuk kemudian membentuk jati dirinya yang sesungguhnya (who they are, what they are all about, and where they are going in life) yang akan terus melekat sepanjang kehidupannya. Pengenalan dan eksplorasi terhadap diri dan lingkungan ini ditujukan untuk mengetahui respon-respon lingkungan terhadap dirinya pada saat remaja menampilkan perilaku dan peran-peran tertentu. Respon-respon ini yang pada akhirnya membentuk suatu pemahaman pada remaja mengenai hal yang diharapkan lingkungan pada dirinya dan hal yang tidak diharapkan. Karenanya, untuk mengetahui berbagai respon dari sekelilingnya, remaja seringkali menampilkan berbagai macam perilaku dalam waktu yang cenderung berdekatan. Kemauan dan pilihannya terhadap hobi, bidang tertentu, permainan, seni, berbusana, grup musik, dan lainnya dengan mudah dapat berubah-ubah.

Yang perlu diperhatikan adalah eksplorasi perilaku dan peran yang dilakukan oleh remaja berkaitan dengan peran seperti apa yang diharapkan dari diri mereka, karena mereka memahami bahwa mereka bukan lagi kanak-kanak namun belum pula dapat disebut sebagai orang dewasa yang utuh. Karenanya, peran-peran yang diharapkan oleh lingkungan adalah peran orang dewasa yang dipelajari oleh remaja secara bertahap, dan mereka diharapkan mulai meninggalkan perilaku yang biasa ditampilkannya di masa kanak-kanak.

Di sisi lain, kegagalan dalam membentuk jati diri akan membuat individu tidak memiliki identitas yang pasti/jelas, yang muncul dalam ketidakmampuan merumuskan ‘saya adalah…’, yakni individu tidak mengenali kekhasan dirinya, kelebihan dan kekurangannya, kebutuhannya, dan ciri lain dari dirinya sendiri. Kegagalan ini diawali dengan ketidakmampuan individu remaja memahami harapan-harapan lingkungan dari dirinya sendiri dan ketidakmampuannya memainkan berbagai peran yang diharapkan oleh lingkungan sosialnya.

Gaya berbusana remaja akan berkaitan dengan penerimaan dirinya akan perubahan kondisi fisik yang dialami, kemampuan menyesuaikan penampilan agar relevan dengan yang diharapkan orang dewasa, dan kemampuan mengenali nilai dan perilaku yang bertanggung jawab yang diharapkan oleh orang dewasa.

Social cognition atau dapat kita sebut sebagai kognisi sosial mengacu kepada cara individu mengkonseptualkan dan menalar dunia sosial mereka. Hal ini diantaranya mencakup bagaimana individu berpikir mengenai cara mereka berelasi dengan orang lain, bagaimana orang-orang bertingkah laku, interaksi antar orang, interaksi individu dengan orang lain, dan partisipasi mereka dalam sebuah kelompok. Menurut kajian psikologi sosial, kognisi sosial dapat diartikan sebagai pemahaman mengenai diri di lingkungan, pemahaman mengenai lingkungan sosial yang ada di sekitar individu. Dalam kaitannya dengan pemahaman terhadap lingkungan sosial, individu diharapkan dapat menampilkan/memainkan peran yang sesuai dengan harapan lingkungan sosialnya. Peran individu tersebut dapat berbedabeda dalam 1 seting sosial tertentu; dapat pula kompleks, dalam saat bersamaan bisa jadi berbagai peran menempel pada diri individu. Peran menuntut pemahaman, penguasaan diri dan lingkungan, rencana mengenai sikap dan perilaku yang hendak ditampilkan.

Khusus pada remaja, pembahasan mengenai kognisi sosial biasanya dikaitkan dengan dua hal yakni adolescent egocentrism dan perspective taking. Perspective taking adalah kemampuan untuk memperkirakan perspektif orang lain (terhadap sesuatu hal) dan memahami pikiran dan perasaan orang lain (Lapsley&Murphy, 1985). Dengan tingginya perspective taking pada diri individu, artinya ia dapat memahami pikiran dan perasaan orang lain pada konteks tertentu, dan dengan pemahaman itu individu menyusun/merencanakan perilaku yang tepat sebagai respon terhadap pikiran, perasaan, dan perilaku orang lain yang ada di sekitarnya. Karenanya, dikaitkan dengan kognisi sosial sebagai pemahaman terhadap dunia sosial dan interaksi individu dengan lingkungannya, maka, individu yang memiliki pemahaman yang baik mengenai dunia sosialnya sudah pasti memiliki pemahaman yang baik mengenai pikiran dan perasaan orang lain di sekitarnya. Dengan pemahaman yang baik, ia dapat menampilkan respon perilaku yang tepat sesuai dengan yang diharapkan lingkungan.

David Elkind (1976) menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan social thinking, ada 2 pembagian egosentrisme remaja, yakni imagery audience dan personal fable. Remaja merasa ia selalu menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitarnya, di manapun ia berada, bahwa orang-orang selalu memperhatikan segala perilakunya; mereka merasa bahwa dirinya adalah aktor/aktris di panggung, dan orang-orang lain adalah penonton/audiensnya. Inilah yang dikenal dengan imagery audience. Konsep personal fable mengacu pada keyakinan remaja akan keunikan diri mereka (personal uniqeness) yang membuat mereka merasa tidak ada yang dapat memahami diri mereka, perasaan, dan pikiran mereka, selain diri mereka sendiri atau teman-teman sebaya yang cenderung memiliki pengalaman yang sama dengan mereka.

Keluarga, teman sebaya, dan lingkungan sekolah adalah 3 lingkungan Utama yang sangat mempengaruhi remaja dalam bertingkah laku. Ketiga lingkungan ini merupakan tempat remaja belajar mengenai aturan dan norma yang berlaku di masyarakat, belajar mengenai perilaku yang dapat diterima dan perilaku yang tidak dapat diterima oleh lingkungan sosial. Ketiga lingkungan ini pula yang akan mengajarkan kepada remaja bahwa ketika ia berperilaku A, lingkungan menyukai dirinya dan perilaku B tidak diharapkan oleh lingkungan. Dengan perilaku-perilaku itu kemudian remaja membentuk jati dirinya yang sesungguhnya.

Pada fenomena berbusana atau gaya berpakaian, remaja lebih banyak mengeksplorasi dirinya. Ia mencoba berbagai gaya busana untuk kemudian menunggu respon yang ditampilkan oleh lingkungan. Kuatnya dorongan dalam diri remaja bahwa ia menarik dan layak diperhatikan oleh lingkungannya, menjadi indikasi bahwa perlu usaha untuk menyeimbangkan antara kebutuhan diperhatikan dengan perlunya memahami harapan lingkungan. Di sini, orang tua dan lingkungan keluarga, sebagai tempat anak mengenal, memahami, menerapkan nilai-nilai kehidupan memegang peranan penting. Sedianya, orangtua memberikan umpan balik terhadap gaya berbusana remaja dengan mengaitkannya terhadap harapan-harapan dari lingkungan sosial. Orangtua perlu terlebih dahulu mengenalkan arti berpakaian, peran yang dimiliki remaja (sebagai dirinya, sebagai anak, sebagai generasi muda, pelajar, dll), dan penilaian lingkungan terhadap dirinya dan gaya berpakaiannya, serta arti atau makna berada di tempat umum bersama orang lain. Orangtua perlu untuk mendengarkan gaya berbusana yang nyaman bagi sang remaja, arti model pakaian tertentu bagi dirinya dan kelompoknya, lalu berdiskusi bersama mengenai gaya berbusana yang tepat di berbagai seting atau tempat pertemuan. Remaja perlu dikenalkan dengan tugas-tugas perkembangannya dan diberikan contoh-contoh perilaku yang dapat dia tampilkan guna memenuhi tugas perkembangannya tersebut. Pendidikan dan relasi yang tepat antara orangtua dan anak adalah relasi yang menghargai satu sama lain, mencoba memahami kemauan, pikiran, perasaan remaja, relasi yang mau mendengarkan, relasi yang tidak banyak mengkritik dan menghakimi remaja, relasi dengan komunikasi yang terbuka, relasi yang membebaskan remaja untuk berpendapat dan berargumentasi.

Novianti, Langgersari Elsari. 2009. Gaya Berpakaian Remaja. Bandung: Universitas Padjadjaran.